Minggu, 28 Maret 2010

Dari Crong Crong sampai Ndang Ndut

Oleh:
Sulaiman Harahap




Ketika abad 20 baru saja bergulir, umpatan buaya kroncong, werklozen (gelandangan), klootzaken (dapat berarti bajingan) atau real jerks (orang-orang tolol), sering dilontarkan kaum elite pribumi dan Eurasia kepada peminat musik keroncong (Frederick, 1982: 105). Ini menandakan wajah musik keroncong saat itu masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat kelas atas. Mungkin karena musik keroncong yang berasal dari jalanan sehingga dianggap kampungan.

Nama "keroncong" diangkat dari
nama alat musik utamanya yang berbunyi …crong...crong... bila dimainkan. Menurut A. Th. Manusama, keroncong awalnya adalah nama alat musik berbentuk seperti mandolin kecil yang dewasa ini dikenal dengan sebutan ukulele, cuk atau cak, dan krung. Sejak awal abad ke-17, alat musik ini sudah dikenal di Batavia. Keroncong biasa dimainkan oleh kaum Mardijkers—para budak merdeka asal bangsa Moor atau memiliki darah Goa, Bengali, atau Coromandel, yang bermukim di Kampung Tugu (Paramita, 1976: 343-344).

Di jalan-jalan kota, di gang-gang kampung keroncong berlaga. Lagu-lagunya pun umum, sederhana, dan mudah dikonsumsi khalayak kelas bawah. Selain itu, genre musik ini sangat fleksibel dengan penggunaan alat musik lain. Sehingga tak heran, keroncong selalu mengalami proses hibrida dengan instrumen dan melodi lain dari waktu ke waktu. Kehadiran radio di kota-kota besar: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, dan Surabaya, pada awal abad ke-20 adalah momentum besar dalam dinamika musik keroncong. Persebaran musik ini semakin meluas dengan hadirnya radio-radio (NIROM, CIRVO, VORO, dan BRV), ditambah pula hadirnya piringan hitam produksi Colombus, Odeon, His Master Voice, dan Edison Bell Radio, serta produksi film-film yang memanfaatkan musik keroncong, contohnya film Terang Boelan, 1937.

Kondisi demikian berpengaruh besar terhadap perkembangan dan perubahan keroncong dari segi alat musik, irama, karakter, lagu, dan apresiasi. Selain itu, keberadaan pelbagai orkes seperti Lief Java (didirikan Wang Suwardi, 1922), Monte Carlo, Doodskoppen, dll turut pula meramaikan pasar musik keroncong (Andjar, 1983: 82). A. Th. Manusama dan Antonio Pinto da Franca lantas mengkaji lagu-lagu keroncong yang sering dibawakan orkes-orkes tersebut, yakni Moresko, Prounga, Kafrinyo, dan Nina Bobo. Dua peneliti itu berkesimpulan bahwa lagu-lagu tersebut merupakan lagu keroncong asli. Bisa juga dikatakan, lagu-lagu itu adalah lagu-lagu keroncong generasi pertama.

Tatkala musik keroncong semakin populer di kalangan grassroot, Dr. Adnan Kapau Gani melihat fenomena ini sebagai celah positif untuk perjuangan nasionalisme. Aktivis Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) yang kemudian menjadi anggota Gerindo ini melangsungkan sebuah festival musik keroncong untuk memperingati 10 tahun Sumpah Pemuda pada tahun 1938 (Frederick, 1982: 106). Saat itu, keroncong disuguhkan dan diangkat sebagai “musik nasional”. Menurutnya, semangat dan jiwa keroncong dekat dengan hati rakyat, karena identitas melayunya yang begitu kental. Sehingga faham-faham kebangsaan dapat tertular dengan mudah bila menggunakan media hiburan yang digemari rakyat ini.

Keroncong terus berevolusi, mulai dari menjadi lebih “tenang” dan “sopan” pada masa pendudukan Jepang hingga menjadi lebih patriotik dan nasionalis pada masa revolusi. Hal ini diakibatkan oleh fleksibilitas keroncong dengan semangat zaman. Masuk era 50-an, dunia musik tanah air mulai dirambah oleh orkestrasi ala Barat. Keroncong pun menjadi lebih modern dengan hentakan Samba dan Rhumba serta penggunaan alat musik terompet dan saksofon. Jenderal Rudi Pirngadie, yang dikenal dengan julukan “Jenderal Keroncong”, mulai mempolitisir kondisi ini. Keroncong pun disusupi muatan ideologi nasional (Khusyairi, 2003: 78). Hal ini seiiring dengan kewaspadaan pemerintah akan pengaruh “musik Imperialis” yang mulai merongrong identitas nasional.


Menuju Dangdut

Pada masa Demokrasi Terpimpin, musik keroncong yang telah sedemikian rupa terpengaruh Barat akhirnya terkena kontrol budaya dari politik anti Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme) ala Soekarno. Para musisi mulai bergegas membenahi karya agar identik dengan identitas nasional. Agar tidak dicap sebagai kontra revolusioner, mereka menghadirkan jenis musik yang selaras dengan semangat nasional dan revolusioner. Walaupun pada kenyataannya musik ngak-ngik-ngok ala Barat masih santer terdengar di rumah-rumah. Pada masa ini, keroncong yang modern dan dilabeli berbau Barat menurun drastis popularitasnya. Namun sebaliknya, irama Melayu naik ke panggung popularitas.

Situasi ini menjadi ladang subur untuk membentuk kelompok musik Orkes Melayu. Terbukti, saat itu banyak bermunculan Orkes Melayu (OM), seperti OM Chandralela pimpinan Mashabi, OM Bukit Siguntang pimpinan Abdul Chalik, OM Sinar Kemala pimpinan A. Kadir, OM Kenangan pimpinan Husein Aidit, dll (Lohanda, 1991: 139). Pada masa ini OM hadir sebagai alternatif menggantikan musik Barat yang berbahaya bagi revolusi yang belum usai.

Pada akhir tahun 50-an hingga awal 60-an, banyak beredar film dan lagu India di Indonesia. Alhasil, budaya Hidustan mempengaruhi perkembangan Orkes Melayu yang tengah di atas angin. Film India “menjamur” karena penuh empati dengan penderitaan dan kemiskinan. Maka, kehadiran film-film musikal Orkes Melayu yang punya gambaran serupa sangat diterima oleh masyarakat kebanyakan yang sedang tercekik kesulitan ekonomi.

Pada kondisi sosial seperti ini, muncullah seorang Ellya. Ia adalah Biduanita OM Kelana Ria pimpinan Munif Bahasuan yang berhasil memasukan sensualitas dan dinamisme unik dalam musik Irama Melayu. Penampilan yang mendebarkan saat membawakan lagu ciptaan Husein Bawafie, “Boneka dari India” (1956), menyebabkan lagu ini diakui sebagai lagu dangdut yang pertama, walaupun penamaan dangdut belum digunakan ketika itu (Frederick, 1982: 107). Masa jaya Irama Melayu setidaknya hingga paruh pertama 60-an, kemudian tersendat oleh Peristiwa G 30 S, lalu menyusut pada tahun-tahun berikutnya.

Pembukaan Orde Baru ditandai dengan pembangunan ekonominya yang bertitik berat pada pertumbuhan ekonomi dengan modal asing yang membawa dampak buruk bagi musik Melayu. Politik “pintu terbuka” membawa konsekuensi terjadinya arus penyatuan dengan budaya populer dunia. Keadaan ini menyebabkan Orkes Melayu berjalan tertatih-tatih (untuk menghindari hilang sama sekali). Sedangkan produk budaya Barat mulai dari musik populer (AS/Inggris) hingga gaya hidup Hippies yang membanjir, ditiru banyak pemuda Indonesia (Sasongko dan Katjasungkana, 1991: 53).

Arus deras gaya musik Barat (rock, country, dan pop) menciptakan atmosfir yang kental di kota-kota besar. Berbagai grup musik rock luar seperti: Deep Purple, Grandfunk Railroad, Black Sabbath, Led Zeppelin menjadi patron musisi dalam negeri. Berbagai konser pun diselenggarakan, mulai dari aliran rock seperti “Rollies”, “AKA”, dan “Godbless” sampai grup musik bernada lembut seperti “Panbers”, “The Mercy's”, “Favourite's band”, “Koes Plus”, dll (Jaba dan Piper, 1987: 12). Akan tetapi, band-band tersebut lebih banyak memainkan lagu-lagu Barat dan terpengaruh gaya bermain band Barat. Sehingga unsur orisinalitas dan kreatifitas sebagai musisi tidak terlihat. Hal ini memberi celah bagi genre musik dangdut untuk mencoba tampil ke permukaan dengan daya kreatifnya.

Dangdut hadir di blantika musik nasional sebagai hasil dari pencangkokan Irama Melayu dan penggunaan alat musik elektrik serta gaya konser yang teatrikal dan panggung yang gemerlap. Kemunculan genre musik ini adalah buah kreatifitas seorang anak muda yang awalnya menyukai musik Barat dari Paul Anka, Tom Jones, dan Andy Williams. Anak muda itu adalah Oma Irama yang biasa bergerombol dengan teman-temannya di bawah pohon Sawo, di Kampung Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan.

Kehadiran musik kreasi Oma Irama ini dicemooh sebagai musik kampungan (oleh musisi rock dan kaum elite), karena bunyi yang keluar dari instrumen khasnya, gendang, “ndang” dan “ndut”, dianggap murahan. Tetapi sejarah membuktikan, dangdut berhasil menerabas papan atas dunia musik tanah air yang tengah diselimuti musik rock, country, dan pop Barat, serta berhasil menggoyang-goyang zaman. Bukan itu saja, dunia perfilman nasional pun dirambah aliran musik baru ini. Kancah perpolitikan nasional juga tak luput dari sensasi musik 'kampungan' ini. Sekali lagi, hal ini membuktikan bahwa dangdut adalah jenis musik yang begitu dekat, begitu akrab dengan masyarakat kecil Indonesia dari dulu hingga sekarang. Karena itu kita semua perlu mengapresiasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar