Minggu, 28 Maret 2010

[1977] Guruh Gipsy

Oleh:
Manan Rasudi

Artis
Guruh Gipsy

Album
Guruh Gipsy

Tahun
1977


Konon Sungsang Lebam Telak (SLT), sekelompok musisi Free Jazz nyeleneh lokal, pernah mencibir kebiasaan kita mendewakan musisi luar daripada musisi lokal. Jika kabar ini benar, maka semestinya kita hanya bisa mengangguk setuju. Bukankah kita lebih dulu mempromosikan Led Zeppelin atau Deep Purple pada rekan kita yang hendak “belajar” mendengarkan Hard Rock klasik? Lalu, adakah teman kita yang menganjurkan mendengarkan Opera Ken Arok lebih dulu sebelum The Wall?

Di luar itu, cobalah minta referensi album Progressive Rock 70an yang layak didengarkan, lalu pastikan berapa kepala menuntun anda untuk mendengarkan
Guruh Gipsy dibanding mereka yang mengusulkan King Crimson, Gentle Giant, Genesis, Yes, ELP, UK, ELP, Focus, Harmonium, dll untuk dinikmati. Saya yakin hasilnya hampir nihil! Sejatinya, Guruh Gipsy, menurut penulis, cukup menjadi titik start yang pas bagi siapapun yang hendak menenggelamkan diri dalam megahnya Rock 70an. Guruh Gipsy—yang digawangi Keenan Nasution, Chrisye, Ronny Harahap, Abadi Soesman, Oding Nasution, dan Guruh Soekarno Putera, sang mastermind—memang membenturkan format Symphonic Progressive Rock yang tengah jaya pada masa itu dengan bebunyian etnis Bali.

Perbenturan tersebut sudah terdengar jelas dari lagu pertama album ini, Indonesia Mahardhika (Indonesia Merdeka). Lagu ini dibuka dengan intro penuh sinkopasi drum dan pesta moog ala Progressive Rock, lalu berkembang menjadi sebuah lagu dengan hiasan notasi etnis Bali (dan Jawa jika saya tak salah dengar) dengan sempurna.

Sebaliknya, Chopin Larung, track berikutnnya, dengan santai mencampur intro bernuansa Bali dengan sebuah karya Chopin di tengah lagu. Selanjutnya, pembenturan kedua format musik tersebut terus tertata di track berikutnya. Ada kalanya, aroma Progressive Rock terdengar kentara seperti dalam Janger 1987 Saka, Barong Gundah, Geger Gelgel. Sedangkan Sekar Ginotan dan lagu cinta Smaradhana mewakili supremasi musik tradisional Bali atas template musik Progressive Rock.

Jika secara musikal Guruh Gipsy meminjam idiom Progressive Rock, maka di ranah lirik nuansa “Indonesia” terasa kuat. Album ini dibuka dengan pernyataan cinta tanah air dalam Indonesia Mahardhika, melalui suara Keenan Nasution, Guruh Gipsy meniupkan Lirik Lugas Rukun damai mulia/Indonesia tercinta/Salam sejahtera/Gunung langit samudera/Ruh semesta memuja. Kemudian, lewat Chopin Larung dan Janger 1987 Saka, Guruh, dkk memperlihatkan jengahnya mereka akan invasi budaya luar yang sudah memasuki tahap destruktif.

Alih-alih dipuja, Chopin beserta karyanya justru dijadikan idiom yang mewakili kuatnya arus budaya barat kala itu. Simak saja kritik lirih yang ditembangkan oleh Chrisye dalam lagu tersebut Sang jukung kelapu-lapu/Santukan Barana Kroda/ Nanging Chopin nenten ngugu/Kadangipun ngarusak seni budaya (sang perahu terombang-ambing/akibat amarah sang dewa laut/namun, Chopin tak menyadari/Bangsanya merusak seni budaya). Uniknya, di tengah semaraknya lirik berbau nasionalisme dan gelegak kritik atas intervensi budaya tersebut, masih ada Smaradhana yang merupakan lagu cinta murni dengan lirik Sansekerta, andika dewa/sirna duli sang smara/merasuk sukma/menyita heningnya cipta/ begitu lirik lagu tersebut dilantunkan.

Dengan lirik seperti itu, pada masanya album ini seperti pelanduk melawan gajah. Ditengah tren lagu cinta yang penuh kata “mengapa”, --setidaknya menurut Remy Silado—Guruh Gipsy menantang dengan tatanan syair di atas, keadaan yang saat ini mungkin dihadapi oleh—tanpa bermaksud mendewakan mereka—Efek Rumah Kaca.

Ironis memang, sementara album ini menyerang invasi budaya luar, album ini justru meminjam fondasi Progressive Rock yang juga budaya luar. Namun, menilik semangat zaman (Zeitgeist), cara yang ditempuh Guruh Gipsy bisa dikatakan cerdas. Dengan ramuan tersebut, audiens yang dijaring justru meluas. Konon, album ini sukses menjadi buah bibir komunitas Progressive Rock internasional. Jadi, pemanfaatan pakem Progressive Rock dalam album ini bukanlah pernyataan menyerah budaya lokal. Sebaliknya, ini adalah usaha mendompleng kejayaan Progressive Rock yang tengah berjaya guna menyampaikan semua pesan dalam album ini.

Dengan komposisi tersebut, album ini kandas secara komersial. Namun, di sisi lain album yang dicetak terbatas (5000 keping oleh PT Pramaqua) ini kerap kali dipandang sebagai salah satu pencapaian artistik terbaik dalam sejarah musik lokal. Meskipun bukan yang pertama dan satu-satunya yang mencampur idiom musik lokal dengan musik populer barat (Shark Move sudah lebih dulu serta Harry Roesli juga mengeluarkan album Tiga Bendera yang kental nuansa Karawitan Sunda di tahun yang sama), setidaknya album ini menjadi salah satu titik penting dalam tren perkawinan dua jenis musik tersebut.

Belum lagi, legasi album ini masih bisa dirasakan dalam karya musisi sesudahnya, seperti Krakatau, Discus, dan Simak Dialog. Di samping itu, album ini juga menjadi titik awal tren lirik bernuansa Sansekerta seperti yang bisa kita simak dalam album Sabda Alam milik Chrisye yang memuat, salah satunya, Smaradhana dalam versi yang lebih pop. Bisa jadi, warisan gaya lirik ini juga menjangkau generasi dua dekade berikutnya. Bukankah lirik Katon Bagaskara dalam lagu Saujana memiliki senyawa yang dimiliki Smaradhana?


Sayangnya, mendapatkan album ini tidak mudah. Jadi wajar kalau sebagian teman anda tetap bebal merefensikan King Crimson dkk dibanding Guruh Gipsy. Tapi, jika anda berhasil mendapatkan album ini—baik kaset, plat atau file digitalnya—cobalah nikmati barang sejenak lalu mungkin, suatu saat nanti, kita bisa meminjam manifesto Sungsang Lebam Telak untuk kita teriakkan lantang ke audien musik barat di luar sana “Musik kalian jelek, Musik kami bagus!”

1 komentar:

  1. tribute to Indonesian Legends https://www.youtube.com/watch?v=1qb_9XfmQI0

    BalasHapus