Jumat, 12 November 2010

Live Review Ugal-Ugalan nan Pretentious: Highoctane Halloween

Oleh: Mochamad Abdul Manan Rasudi


Halloween Lokal, Setan Kolot, dan Horor Kontemporer
Titimangsa:
31 Oktober 2010
Perayaan Horor Multi Era di Eastern Promise, Kemang


Kalau saya tak salah ingat, malam itu Soleh Solihun (kali ini berarmor kaos merah, rompi kulit, serta celana jeans) membuka acara itu dengan sangat rendah hati, “Selamat datang di acara Highoctane Halloween. Saya juga tidak mengerti apa itu Halloween!” Yang benar saja, Bung, anda kan penulis feature canggih di majalah musik paling akurat, masa’ Halloween saja [pura-pura] tak tahu?

Bagaimana kalau kita singkirkan sejenak dengan hormat Soleh Solihun yang makin lama makin lucu untuk sebuah paragraf yang, well, pretentious. Lantas, mari juga sepakati saja bahwa Halloween hanya milik mereka yang kita sebut bule atau kaum ekspatriat yang digelar di kafe-kafe tertentu. Kita yang dibesarkan  dengan imaji kuntilanak ala Suzanna atau Setan Mati Kemaren a la Dewi Perssik, jika perlu referensi yang lebih kontemporer, mana akan merinding di malam 31 Oktober?

Apa sebab? Sebab kita tak pernah mengkeret ketakutan lantas menutup semua pintu dan jendela saat malam 31 Oktober menjelang, paling dulu kalau pun merinding pasti sebulan lebih awal, tanggalnya 30 September. Kita tak pernah sedikit pun takut pada “lentera labu” atau pun Jack-o’-lantern. Yang sukses bikin kita merinding justru pocong. Halloween tak pernah seram bagi kita kecuali jika jatuh pas Kamis malam atau pas malam 1 Suro. Ah, lagipula, kita lebih dulu takut daripada bule; Mereka takut Jumat malam, kita sehari sebelumnya, Kamis malam.

Lalu, apa guna merayakan Halloween? Kita hanya ingin senang-senang, nuff said. Namun, jika jawaban ini terlalu jujur, silakan simak jawaban yang lebih gagah namun, ya lagi-lagi, pretentious: Sesungguhnya, kawan, kita merayakan Halloween demi sebentuk balas dendam yang manis pada para bule. Merayakan Halloween sama saja dengan membalas apa yang dilakukan Quentin Tarantino kala membuat Kill Bill, saat DJ Shadow menyitir sebuah tembang Sunda, saat The Psychic Paramount menculik kata ‘gamelan’ dan menyempilkannya dalam judul album. Gampangnya, kalo mereka ketimur-timuran, bisa dong kita kebarat-baratan!

Kan Arian juga bilang malam itu, “Lebih baik kebarat-baratan daripada kearab-araban!”

Ah, mau senang-senang saja banyak alasan!


Melokalkan Halloween

Galibnya perayaaan Halloween yang dikelar oleh scenester lokal, seharusnya malam itu Eastern Promise disambangi oleh para gig-goer bertopeng dan berhias kaos band lokal maupun internasional.

Nyatanya, hampir tak tampak keriuhan pesta topeng a la barat. Hanya ada beberapa manusia yang memakai topeng wajah meleleh atau menyunggingkan sepasang tanduk artifisial menyala merah. Yang lebih banyak terekam di ingatan justru mereka yang memamerkan koleksi merchandise band lokal. Untung masih ada yang menyelamatkan status malam itu.

The Authentics, misalnya, yang tampil cukup larut mengentalkan cita rasa Halloween yang orisinil. Mereka bersepakat beraksi sebagai sekelompok zombie yang terlalu riang untuk jadi menakutkan. Ya, dengan segala codet artifisial yang terlihat cukup meyakinkan, The Authentics justru bisa saya nobatkan sebagai kelompok paling santai malam itu. Aliran Ska yang mereka hembuskan sukses membuat lantai sempit antara panggung dan kursi penonton dipenuhi mereka yang berpogo ria. Apik dan santai Ska yang mereka bawakan; tak henti kami di lantai dansa menari. Apik dan melenakan Ska mereka; sepasang kekasih di samping saya tak pernah berhenti bergoyang sambil menyembunyikan gesekan badaniah di antara keduanya. Tak ada zombie ganas a la Left 4 Dead. Tak ada zombie menyeramkan Minggu kemarin.

Pun Suzanna tak kembali ke bumi malam itu. Padahal, malam itu panggung sudah ditaburi melati saat pesta baru akan disulut. Entah enggan atau sudah tenang di alam baka, yang dipanggil tak kunjung muncul, padahal Kelelawar Malam, band horror punk penggila Suzanna, sudah rela membuka pesta horor malam itu.

Belum kenal Kelelawar Malam? Ah, baguslah, karena ini adalah saat yang paling krusial untuk mengenal mereka. Ingat, Bung! Keseksian sebuah band selalu berbanding terbalik dengan tingkat popularitas band tersebut. Nah, siapa Kelelawar Malam? Mereka adalah sekte pemuja Suzanna, kuntilanak, dan segala sesuatu yang berbau malam. Pemujaan ini lantas mereka bungkus dalam aroma lo-fi horror punk dengan bumbu liukan gitar heavy metal. Ah, kau juga bisa menemukan aroma psychobilly di dalam adukan itu. Begini saja, Kelelawar Malam adalah apa yang terjadi jika Glen Danzig kala memperkuat The Misfits dan menyunting perempuan Indonesia serta berbulan madu di Jakarta dengan menonton film-film Suzanna.

Kembali ke Eastern Promise seminggu yang lalu, Kelalawar Malam, band yang menurut saya paling pas manggung dalam Highoctane Halloween, membuka repertoarnya dengan Malam Terkutuk. Lantas, mereka menggeber repertoar lawas yang pernah ditelurkan dengan nama Desmodus Rotundus seperti Palu Keadilan, Malam Jumat Kliwon, Ratu Kegelapan, Suzzanaheinstein, serta Bangkit dari Kubur. Dalam satu panggung yang sama, mereka juga menyuguhkan repertoar baru mereka seperti Malam Terkutuk, maaf kalimat ini mangharuskan judul ini kembali disebut, dan Malam Mencekam yang dibumbui sayatan bluesy.

Malam itu cuaca cerah dan tak ada yang menyeramkan saat Kelelawar Malam beraksi. Bibir panggung diisi oleh sekelompok Budak Kelelawar yang menimpali lelaku majikannya di atas panggung. Mereka terus bernyanyi dan menjadi koor backing vocal zonder upah yang seadanya. Tak ada yang seram di antara kerumunan mereka. Tak juga kami ketakutan melihat tampang personil Kelalawar Malam. Eye shadow boleh tebal dan rambut boleh bertabur bunga melati, cuma kalo panggungnya terang, mana mungkin bulu kuduk berdiri.

Lantas bagaimana dengan lirik mereka? Nah, mungkin di sini bisa kita nukil sedikit ketakutan. Malam Jumat Kliwon yang obvious, misalnya, sejatinya lagu ini bercerita tentang bagaimana membangkitkan jasad perempuan yang baru meninggal /Kuangkat tubuh kakumu dari lubang/Paku besar kutusuk di pucuk kepala/Guntur menggelegar penuh amarah/Seakan menolak apa yang akan terjadi/. Ngomong-ngomong masalah membangkitkan yang mati, Suzzanaheinstein jauh lebih slebor dan posmo karena sukses mencangkokkan Suzanna dalam legenda Frankenstein /Aliran elektrik/menuju otak/memicu syaraf/dan kau bergerak/. Sementara Bangkit dari Kubur, lagu anthemic Kelelawar Malam justru menetak cerita tentang arwah yang enggan tenang dalam kubur /Kau sudah tiada/Mengapa kau ada?/Seperti kau tak rela/. Seramkah lirik yang disuguhkan malam itu? Itu terserah anda. Yang jelas Kelelawar Malam sukses mengusir Jack-o’-lantern dan zombie dan menggantinya dengan Suzanna dan melati. Sayang, Sang Ratu tak kunjung bangkit. Begitu pun bulu kuduk kami.


Sejenak Selingan: Yang Menyumbang dan Yang Bergoyang

Serupa semua gig yang digelar pasca rentetan bencana yang menimpa nusantara, maka Highoctane Halloween juga tak mau ketinggalan momentum untuk mengumpulkan pahala, eh maksudnya, materi guna membantu mereka yang tak beruntung di luar sana.

Kali ini yang dijadikan pancingan bagi keluarnya para dermawan adalah sepucuk t-shirt Seringai tentunya dengan tanda tangan semua personil band papan atas itu. Sayang seribu sayang, t-shirt itu rupanya tidak menemukan dompet yang sepadan hingga, kalau tidak salah, malam itu t-shirt itu tak sanggup menjaring uang senilai 150 ribu Rupiah. Itu pun, kalau mau tahu, sudah disertai usaha keras Soleh untuk meniru juru lelang (Soleh pun berhasil!) dan menghasut kami dengan mengolok kami sebagai “milisi metal” tanpa modal.

Nasib yang serupa hampir mampir pada t-shirt kedua, sebuah gig t-shirt Highoctane Halloween lengkap tanda tangan semua penampil malam itu. Sehebat apapun Soleh menirukan juru lelang, sampai pada beberapa menit kemudian harga yang dipatok mulai 100 ribu Rupiah, jenuh pada titik 150 ribu. Untung ada Lens, dulu vokalis The Miskins kini Manajer Eastern Promise, yang menghibur kami dengan menaikkan tempo lelang ketika ia menyalakkan, “200 ratus ribu!” Dompet bule tak sepadan dompet lokal seperti Dolar yang selalu gagah, Lens melenggang sendirian sampai batas setengah juta. Pasti butuh rangsangan khusus untuk membuka dompet-dompet lokal.

Ngomong-ngomong masalah merangsang, ini pasti pas: sepasang sexy dancer yang melenggak-lenggok dengan iringan groove White Zombie. Serigala Militia yang sudah menunggu jagoannya beraksi harus menelan mentah pertunjukkan singkat itu, walau kali ini mereka menelannya, tentunya, dengan sumringah. Dua dancer berbusana menantang ini benar-benar membangkitkan tempo sampai Rezanov, vokalis GRIBS, mampir ke tengah panggung dan melegitimasi dirinya sebagai ikon glam metal Jakarta paling kontemporer. Ujung selingan singkat itu adalah gelak tawa.

Aslinya saya khawatir. Bisa saja Fasisme yang kerap disitir Soleh benar-benar datang dan menghentikan hiburan singkat ini. Untung saya sadar Lebaran sudah lewat. Lagipula kalau mereka datang, buru-buru akan kulempar mukenah dan rompi Majelis Rasulullah. Semua pun menjadi halal.


Parade Setan Kolot

“Buset! Itu tiap hari pake spandex?,” komentar seorang rekan saat 2 personil GRIBS berkelebat semasa kami menyantap nasi goreng berporsi bule di pinggir jalan utama Kemang. Pertanyaan retoris. Biarlah berujung senyap.

Toh, nanti pemandangan yang sama jadi jalan pembuka canda Soleh tentang zakar dan ukurannya. “Ini yang namanya konsep. Tiga bulan juga sudah bosan,” komentar sang MC dengan logat khasnya. Konsep katanya, sementara pencitraan adalah kata yang saya pilih. Malam itu merekalah yang paling koheren berdandan. Tak ada imaji satanic yang diusung. Hanya glamornya hair metal dan maskulinitas yang menonjolkan justru kala dibungkus ketatnya spandex.

Dengan zirah dan imaji seperti inilah, GRIBS berhasil menyemburkan aura glam metal dari kubangan dekade ’80-an. Inilah setan masa lalu yang berhasil dengan lancar dihadirkan kembali. Maka percayalah! Malam itu anda akan dibawa ke masa di mana hairspray sangat dipuja. Dengan jamuan mata berupa syal pada stand mic dan ikat kepala yang melingkar menafikan batas maskulin dan feminin. Saya teringat sebuah komik lokal Methal Pertiwi mencandai kenangan akan kancah musik lokal era ’80-an. GRIBS adalah padanan yang tepat atas gagasan dalam komik itu. Kurang apalagi, rambut panjang, spandex, aksi naik ampli yang heboh serta repertoar semisal Rocker, Rock Bersatu, sebuah lagu ballad dan Neraka Jahanam, sebuah lagu lama Duo Kribo?

Lebih dari itu, ada satu lagi yang unik. Kala GRIBS merajai panggung. Mata ini sempat menangkap basah beberapa personil Gigantor menikmati suguhan musik dari arah panggung. Jadi, jika memang ada friksi yang tajam antara thrash metal dan hair metal, maka tidak di Kemang. Di sana keduanya berjalan bersisian. Di sini kawan, glam metal tak pernah bermusuhan dengan thrash metal. Di sini spandex hanya bermusuh cuaca panas tropis.

Masalah membangkitkan arwah legenda, Seringai tak mau kalah. Cuma sebelum saya tulis tentang siapa yang dibangkitkan oleh Arian13 dkk, mari sejenak saya jelaskan betapa memorable-nya performa Seringai malam itu.

Sebagai empunya hajat, Arian13 dkk tampil paling brutal. Bagaimana tidak brutal, malam itu, seperti layaknya show Seringai lainnya, tiap repertoar ditimpali beliung tubuh manusia di bibir panggung. Keriuhan sudah terlihat bahkan dari repertoar pembuka Berhenti di 15 dan terus terjaga melewati psikedelia diskodoom, Menelan Mentah, Tifatul, Kilometer Terakhir atau Mengadili Persepsi. Tak lelah, tak letih serigala-serigala muda menari tanpa peduli apakah bunyi bass Sammy bermasalah atau Arian mimisan. Nah, ini dia momen paling brutal malam itu: ketika darah mengucur dari hidung Arian13 karena sebab yang tak lekas saya tangkap dengan ingatan. Darah! Ya, darah! Tanpa mengurangi duka saya akan penderitaan Arian13 di atas panggung, justru membuat Arian tak usah berkostum macam-macam. Vokalis yang malam itu mengantisipasi moncrot dari "pintu belakang" justru berakhir mimisan. Hanya perlu darah dan nasib untuk terlihat paling gore. Tak ayal luruhlah semua zombie dan semua yang seram di hadapannya.

Oh ya, kembali ke urusan membangkitkan arwah lama, Seringai menggeber Ace of Spade milik Motorhead, pilihan yang kentara mengingat Lemmy dkk sedikitnya punya andil pada akar musik yang akhirnya membentuk apa yang kini disuguhkan oleh Seringai. Sebuah pilihan yang nampaknya lekas diamini para Serigala Militia. Bahkan sebelum Arian kelar memberi petunjuk tentang repertoar apa yang akan mereka cover, mereka sudah meneriakkan judul lagu legendaris itu. Mungkin saya terlalu sering absen gig hingga tak sadar jika serigala-serigala militia sudah akrab dengan Motorhead. Bisa jadi, tak akan mengejutkan jika beberapa tahun ke depan kepala-kepala yang sama akan mendendangkan Kvelertak!

Kejutan justru disuguhkan oleh Morfem, sarang baru scenester kugiran Jimmy Danger. Morfem menyeruak menjadi 4 orang yang paling rakus menyuguhkan cover. Dengan seragam jas dan kacamata, Jimmy tampil sangat kasual. Lyricist visioner ini lantas memimpin comrade-nya dengan menghajar telinga mereka beberapa repertoar yang belum banyak saya kenal. Toh, ini kedua kali saya menonton mereka dan hanya 2 lagu mereka yang sudah wara-wiri di piranti pemutar musik digital saya, Gadis Suku Pedalaman serta Pilih Sidang atau Berdamai.

Familiaritas baru terasa saat Jimmy berujar “Ini khusus buat yang toku-toku!,” sambil memandang lurus ke salah satu pojok ruangan tempat di mana Khemod, Arian13, dll berdiri. Maka meluncurlah Attitude, tembang The Misfits, yang memang hanya bisa diakses oleh mereka yang cukup uzur. Kami yang masih hijau hanya bisa menikmati sepanjang Jimmy masih menggeliat menari di atas panggung. Lalu seakan tahu mudanya referensi kami, Jimmy mengajak kami menyambangi salah satu musical influence mereka, Black Rebel Motorcycle Club. Kejutannya baru muncul ketika lirik di bawah ini dihantarkan oleh Jimmy dkk dengan berapi-api,

Finished with my woman
'cause she couldn't help me with my mind
People think I'm insane
because I am frowning all the time

Black Sabbath oleh sebuah unit post-punk? Why not! Lagipula, dalil mana yang melarang Morfem mencuri sarapan pagi Seringai?


Hantu Kontemporer

Sudah berapa kali anda melihat Soleh bercanda di panggung? Sejatinya, Soleh Solihun adalah seorang penghibur. Ia berkali-kali mengajak kita menertawai pelbagai fobia kontemporer.

Masih dengan guyon yang sama, Soleh Solihun menghibur di antara waktu senggang antara penge-set-an piranti dan pergantian penampil. Celotehnya sepintas masih berkutat pada Fasisme berkedok agama, kopiah SNI serta spanduk bersyariah bebas pajak. Kami selalu berhasil dibuat tertawa lepas di atas pelbagai ketakutan masa kini.

Fobia tidak hanya, meminjam sepotong lirik Efek Rumah Kaca, menetes dari bibir Soleh Solihun. Ada hantu-hantu baru yang juga memancar namun mungkin kelewatan oleh mata penonton. Halloween kerap dimaknai sebagai sebuah pesta kostum seram. Sebenarnya, jika saya tak salah tebak, Morfem dan Seringai juga berkostum menyeramkan, in a broader sense, dengan meniru sosok hantu masa kini.

Mari kita mulai dari Seringai. Keempat personil Seringai sepakat naik panggung dengan seragam SMA. Maka jadilah seragam sekolah yang tampak aneh dikenakan oleh sekelompok lelaki yang menolak tua namun kewalahan menantang umur. Kecuali pada tubuh Sammy, seragam itu terlihat janggal. Bukan Seringai kalau membiarkan seragam itu apa adanya. Oleh tangan-tangan mereka, maka seragam ini bersanding dengan coretan lambang anarki dan genitalia, bandana serta lambang Black Flag. Lalu dimana letak hantu masa kininya?

Sabar, kawan. Mari saya gambarkan dulu bagaimana Jimmy dkk berdandan malam itu. Jimmy, seperti tertulis, tampil kasual dengan jas dan sepotong kacamata. Tak pula ada yang menyeramkan dari dandanan gitaris Morfem. Namun, ada yang unik dan menyeramkan dari dandanan seksi ritem Morfem; kaos bertuliskan “Densus 88” dan topi berajah kata “Polisi” serta kumis buatan yang sepertinya sangat mengesalkan bagi warga Jakarta.

Lantas, sekali lagi, di mana letak seramnya? Ayolah kawan, masa’ anda tak ingat bahwa seragam sekolah bisa jadi pengingat bahwa pendidikan kerap dimaknai perobotan manusia yang legal, bullying atau marjinalisasi kaum tertentu oleh mahalnya ongkos sekolah? Masa pula anda tak ingat bahwa polisi dan Densus 88 adalah tangan-tangan bersenjata negara yang bisa semena-mena? Masa anda juga lupa kalau kumis artifisial itu akhir-akhir ini menjad ikon menyebalkan kala Jakarta lumpuh karena hujan? Foke you! Bahkan kalau anda lupa, Jimmy menceritakan dalam sebuah lagu apa jadinya jika ibukota terendam air!

Ini dia hantu masa kini. Ini dia hantu-hantu yang bisa memicu ketakutan masif. Lantas, jika bulu kuduk anda belum juga berdiri, sudah saatnya pergi ke dokter. Barangkali, ada yang salah pada bulu kuduk, ups! maksud saya, otak anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar