Rabu, 31 Maret 2010

Musik Kini Kandas di Rerumputan

Oleh:
Hizkia Joko Pransetyo

 
Jika ingin mendadak menjadi jutawan, ciptakan lagu, aransemen, lalu rekam di dalam studio rekaman, kemudian kirim ke salah satu label musik terkemuka. Analoginya memang seperti itu jika kita hidup sekitar 2 dasawarsa ke belakang, ketika Sheila On 7 memperkenalkan akronim 'band jutaan kopi' yang disematkan ke pundak mereka. Erros Chandra (baca: gitaris & frontman band Sheila On 7) mendapatkan gelar pria lajang muda terkaya seantero Indonesia saat itu. Mimpi menjadi jutawan menjadi hal yang tidak ditabukan lagi. Band dan label musik menjadi simbiosis mutualisme yang sama-sama saling menguntungkan, pembajakan belum terlalu menggila, minat masyarakat membeli kaset ataupun CD asli masih tinggi. Jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, dunia industri musik Indonesia sudah diambang jurang, jika disentuh sedikit lagi akan jatuh ke dalam labirin kegelapan yang tiada putus-putusnya. Label musik telah menjadi gurita kapital terbesar dalam sejarah permusikan Indonesia, yang melilit para seniman musik Indonesia dari segala penjuru. Label musik telah melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap musisi Indonesia. belakangan banyak label rekaman melakukan ekspansi bisnis dengan membuka divisi manajemen artis. Hal ini justru bertentangan dengan esensi awal dari label itu sendiri. Namanya saja sudah label rekaman, seharusnya berhubungan dengan rekaman, penjualan kaset, CD, NSP (Nada Sambung Pribadi), dan sebagaimana mestinya yang berkorelasi dengan rekaman.

Pembukaan divisi manajemen artis menurut pandangan saya adalah sesuatu hal yang inkompeten. Selain mengeksplotasi habis-habisan artis tersebut, dengan adanya manajemen baru akan mengebiri manajemen lama. Manajemen lama hanya akan menjadi subordinat dari manajemen baru, seperti makan gaji buta. Impuls terbesar label rekaman membuka divisi manajemen artis dipengaruhi oleh kondisi industri musik Indonesia yang luluh lantak. Penjualan album fisik yang mati total, pembajakan di sana-sini, membuat label berpikir keras agar perusahaan tidak bangkrut. Salah satunya adalah mengacak-acak tatanan harmoni dari label, manajemen, dan artis yang sebenarnya memiliki otonom sendiri-sendiri. Label telah mencampuri urusan artis itu sendiri melalui tangan panjang dari manajemen baru, karena pada akhirnya pembuat keputusan akhir di tangan label. Sejauh manakah label mengutak-atik urusan artis? Jawabannya adalah sangat jauh, seperti genre dan penciptaan lagu apa yang sesuai dengan pasar, sehingga terjadi keseragaman lagu-lagu yang beredar di masyarakat, royalti mekanis yang semakin mengurangi profit artis, show, tur, merchandise yang keuntungannya dibagi secara tidak terhormat, advertising, publishing, hingga ke dalam internal band itu sendiri (banyak band-band saat ini berformat bukan format original band itu, alasannya mereka tidak memilki musikalitas yang tinggi, atau wajahnya terlalu tampan untuk dimasukan ke dalam TV, sehingga mengganti personil band itu dengan orang lain yang lebih kompatibel).
Sesungguhnya 20 tahun sebelumnya sangatlah terhormat jika kita mendapatkan kontrak dari major label terkemuka. Kontrak yang besar, tingkat mendapatkan kepopulerannya melebihi label-label indie karena mendapatkan publishing terskema, royalti dari penjualan album fisik yang sangat besar. Tapi kini label rekaman berubah menjadi gurita kapital, yang mampu menggerogoti artis itu dan hanya memikirkan agar perusahaannya tidak bangkrut. Saat ini artis ibarat seperti buruh kelas pekerja, bukan lagi sebagai seniman sesungguhnya yang menciptakan karya-karya idealis mereka. Dikejar-kejar deadline label untuk membuat album, sehingga banyak artis yang kemudian menciptakan karya yang tidak maksimal, hingga penyimpangan genre musik dari band bertrademark pop rock menjadi pop melayu. Jadi jangan terlalu tergiur dahulu jika major label tiba-tiba mengontrak anda, terlebih lagi mengontrak anda untuk jangka waktu yang sangat lama. label musik mempunyai cara kerja seperti permen karet, manis dikunyah, setelah tidak manis dibuang begitu saja. Jika artis itu tidak booming dan tidak mempunyai daya jual lagi, maka habislah riwayat artis tersebut.
Banyak sekali saat ini artis-artis musik kembali ke jalur 'indie', seperti Nine Inch Nails, Radiohead, Madonna, dan dalam negeri terdapat Slank, Netral, Naif, Gigi hingga baru-baru ini Iwan Fals lewat album barunya "Keseimbangan". Mereka merasa label tidak lagi berpihak kepada mereka, membatasi kreativitas, hingga masalah-masalah penggelapan royalti. Jadi, berbahagialah jika anda tetap berada di jalur indie karena tidak ada pembatasan baik kreativitas, hingga keuntungan. Memang dalam tingkat kepopuleran menjadi menurun jika beralih dari major menuju indie, tapi setidaknya jika anda sangat beridealisme dalam menciptakan musik dan tidak menyukai pembatasan-pembatasan yang dikungkung oleh label rekaman, maka indielah alternatifnya.
Jurang pembatas antara major label dan indie sudah tidak lagi jauh. Major dan indie memilki kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Untuk urusan penjualan album fisik, label sudah tidak bisa berharap lagi, begitupun artis-artis yang berada di jalur independen, album fisik dibagikan secara gratis, hal ini dilakukan oleh Koil ketika melempar album "Blacklight Shines On" secara gratis lewat majalah dan via internet, ini merupakan terobosan besar yang dilakukan Koil, tetapi bukan pertama kalinya karena Prince mengedarkan albumnya secara gratis lewat tabloid Sun secara gratis. Bagi mereka, penjualan album fisik hanya dijadikan sebagai marketing tools saja untuk menjaring job stage. Artis musik kini hanya mengandalkan show panggung, beberapa penjualan merchandise, dan album-album fisik yang dijual di tempat mereka tampil yang tidak seberapa. Sungguh ironis......musik kini kandas di rerumputan...du...du...du.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar