Jumat, 22 Oktober 2010

Live Review Picisan nan Ugal-Ugalan: Santay-Santay Tengah Pekan

Oleh:
Moch. Abd. Manan Rasudi








Teruntuk siapa pun yang membuat alisku menari[1]


Sudah lihat potongan malam yang kukirimkan lewat kotak pesan akun Facebook-mu?

Ku potong malam itu untukmu karena seharusnya kau datang bersamaku ke Jalan Jaksa, Kamis [14/10] lalu Kawan. Jalan Jaksa, yang kerap dikutuk dan dilabeli “Mekah”nya bule kere di Jakarta, memang tak pernah berubah. Masih glamor dengan klub picisan yang me-reggae-kan semua lagu yang pernah ditulis sejak Hawa memutuskan hamil,  manusia kaukasus yang memegang tiang listrik sembari melepas semua muntahannya atau tukang nasi goreng yang dipaksa mengerti  bahasa bule demi menghidupi anak istrinya. Hanya saja, beberapa scenester malam itu bergegas menggelar sebuah gig kecil-kecilan, gig santay, kata mereka, yang mengubah sejenak keriuhan Jalan Jaksa, ya sejenak tapi inilah alasan kenapa ku potong malam itu untukmu karena, sejatinya, kau memang seharusnya di sana bersama note kecil, tawa riang, dan keangkuhanmu.

Kau memang seharusnya di sana karena ketika aku datang tempat itu sudah riuh dengan keramaian yang mengasingkan. Jika aku bisa membelah menjadi dua orang yang sama, maka individu yang lahir akan melihatku seperti Nobita yang memakai topi kerikil; Nobita yang hilang, dilupakan (atau memilih dilupakan jika kau percaya kehendak bebas manusia) dan tak dipandang oleh mata mana pun. Pasti beda jadinya jika kau di sana, aku pasti  berubah menjadi Dekitsuke yang pandai dan, seperti semua anak 90an tahu, tampan lantas masuk menerobos gerbang kafe dan mencegat panitia yang ada dengan kalimat lugas “Mas, dari Jurnallica, dua tiket kan?”. Malam itu tidak, aku harus menunggu kawanku, sosiolog muda berkaca mata penyembah Deftones sekaligus pengolok apapun yang dia kehendaki, sebelum gerbang mungil kafe itu aku lalui.

Kau memang seharusnya di sana karena ku tahu apa yang kau sukai. Lihat baik-baik potongan malam yang kukirimkan!  Walau tak seperti senja stereo yang dikirimkan pada Alina, kau masih bisa melihat bahwa yang naik panggung pertama adalah sebuah band yang dinamai Fantastic June. Sama sepertimu, aku tidak bisa mendengar jelas apa yang mereka suguhkan; Jelas memang suguhan band yang digadang pemilik net label In My Room Record adalah beberapa lagu indie pop manis, sayang detail suara yang dihasilkan kurang berhasil ditangkap daun telingaku dengan baik.

Namun, coba kau zoom in potongan malam absurd itu, tempatkan kursor tepat di wajah sang penyedia suara Fantastic June. Apa yang terlintas di kepalamu kawan?  Ganteng? Seksi? Sesosok lelaki yang ingin kau cium? Mana pun jawabanmu, Ridwan memang sepintas terlihat seperti Ricky Subagja, legenda bulutangkis kalem itu. Aku bisa membayangkan jika kau di sana maka kau akan berucap “Ya Tuhan, jadikanlah ia yang halal bagiku”, sementara aku berharap semoga gadis-gadis lain di sana berujar sama. Maka, Tuhan pun akan mengambil waktu untuk menjatuhkan keputusan. Oh ya, kala Fantastic June pamit di lagu ketiga, mereka masih menertawakan Billy Corgan yang arogan. Ah, kau pasti ingat hari itu saat ribuan orang kecewa sementara kau larut dalam kelembaman yang melenakan dan aku melepaskan lava panas ke tanah yang basah malam itu. Ingat? Ah, tak ingat pun tak apa, kawan.

Kau memang seharusnya bersamaku di sana sebab setidaknya ada yang bisa dibicarakan saat siapapun yang manggung tidak menyuguhkan apapun yang menarik selain seorang perempuan molek di pinggir panggung. Benar kawan, kala Cause yang menguasai panggung, yang terasa hanya hambar. Kawanku kontan tanpa tedeng aling-aling berseloroh “Ini lirik apa lirik!” atau “Apa bedanya Cause sama Ari Lasso?” atau yang paling nyinyir “Mending nonton Dewa 19 reuni di poster.” Ya, dia memang begitu. Lagipula memang Cause terdengar menjemukan. Kalau aku harus menjawab pertanyaan Fajri (bukan nama sebenarnya – red), maka ini jawabannya: Beda Cause dari Ari Lasso dan semua band pop yang cukup decent lainnya adalah sentuhan gitar passage yang mengawang yang diproduksi jemari seorang gitaris berkacamata tebal. Barangkali memang begini apa yang disebut sebagai Adult Pop atau kuping kami yang kurang liberal layaknya kuping Dede dan Gembi. Bagiku, yang pasti pertandingan Thai Boxing dan Golf di layar kaca jauh lebih menghibur!

Ah, andai saja kau di sana, kita bisa mengumbar obrolan tak penting karena kata Braintext it’s easier to talk about nothing than talk about something.

Lihat lagi dengan cermat potongan malam yang kau terima. Malam sudah mulai seru. Kau lihat pria ceking, berkulit gelap di tengah panggung itu. Itulah Galih atau kita lebih mengenalnya sebagai suara di balik moniker unik Deu Galih. Pria pemalu itu tak datang sendiri malam itu karena kali ini ia tampil di bawah nama Deu Galih and Folks. Jadi jangan dulu terperanjat jika Galih dikawal oleh satu, dua, ah, 6 orang musisi lainnya; salah satunya memakai kaos bertulis “Sing Demi, Abdi Tara ka Saritem”, (l)ucu!  Ah tapi kau tak lahir di daerah Priangan.

Kau memang seharusnya di sana karena kau tak akan menemukan Galih yang sama seperti yang terdengar dalam album Wonderful Journey. Tak ada Alien, tak terdengar Mother apalagi berdua. Yang disuguhkan mereka adalah lagu-lagu yang tak kukenali. Mungkin saja terselip lagu-lagu lama dari album Wonderful Journey yang direkonstruksi habis-habisan dalam kerangka full band. Ahhh!!! Aku tak pernah yakin dan tak pernah menemukan lawan sepadan untuk mendapatkan second opinion yang berarti. Kawanku sang sosiolog? Dia terpaku dan berkedip menata Galih ceking yang berhenti memamerkan suaranya yang bercita rasa grunge. Mungkin kami mengira ia akan segagah pemuda 90an bercelana bolong dan berflannel. Rambut gondrong? Bolehlah kau tambahkan dalam imajinasi kami.

Kau juga seharusnya ada di sana dan saksikanlah betapa kampungannya penulis catatan ini. Untuk pertama kali dalam hidupku, Banjo dimainkan live oleh seorang legenda Country Bandung di depan mukaku.  Sayang seribu sayang, sang Banjo luruh ditelan keriuhan alat musik lain. Beginilah akibatnya jika memanggungkan terlalu banyak alat musik; detil sound adalah komponen yang paling terancam. Namun, toh kami sudah melihat Galih yang lantang bernyanyi. Eh sebentar, kalau kau pikir paragraf khusus untuk mengkanvaskan kesalahan Deu Galih and Folks, maka temanku titip satu kritik, “Kok itu (tempo) perkusinya gak pas ya?”

Kau tak perlu menonton potongan malam ini sampai habis karena toh apa yang kau temui adalah suatu yang biasa. Bukan kurang hormat atau sok sombong, tapi Adrian Adieoetomo adalah suguhan yang sering kita temukan di gig-gig lokal apapun; baik yang ditasbihkan sebagai panggung Blues atau bukan. Cukup! Jangan sekali-kali mengintip penampilannya. Kenapa? Karena kau akan menyesal tak ke Jalan Jaksa malam itu. Adrian tak hanya membawa lengannya yang menggerayangi fret gitar tuanya. Kali ini, ia memboyong seorang DJ yang  kelak akan menggugat eksistensi peniup harmonika dalam panggung Blues. Okelah mari kutulis dengan bahasa yang lebih dewa: Scratch sang DJ, partner in crime Adrian, ah aku lupa katanya..hmm..ah itu dia, menegasikan liarnya harmonika sementara Adrian memamerkan repertoarnya (yes, telegram dimainkan). Sebenarnya itu saja yang beda, Adrian masih liar menggerayangi gitarnya, kadang terlalu cepat hingga gendang telinga tak sempat mengerami pattern yang dimainkan. Dede menyebut apa yang dilakukan Adrian eksperimen; aku menyebutnya sentuhan yang menyegarkan. Lalu kau menyebut apa? Ah kau kan tak di sana!

Ya ampun, sudah terlalu lama rupanya aku berceracau. Simpan potongan malam ini baik-baik dan kalau kau bosan seperti biasanya, kau tahu inti tulisan ini: Kau seharusnya di sana!

Tenang, masih banyak sirkus musik yang akan datang dan masih luas pojok Jakarta yang belum kita langkahi. Jadi, datanglah jika sudah tak repot lagi. Satu lagi, kali ini bawa apa yang melekat saja bukan yang dilekatkan padamu.

Sampai Jumpa!


Catatan:
  1. Waktu tidak berjalan linear dalam potongan malam dan tulisan ini. Ini jaman digital, kawan. Ketika digital editing dan tombol FF berjaya.
  2. Jika kau pikir Wish You Were Here milik Incubus atau sebuah lagu milik sebuah Bandung based local britpop pioneer adalah soundtrack pas untuk catatan ini, kau salah. Cobalah Wonderful karya Stone Temple Pilots!



[1] Diambil langsung dari sebuah judul lagu Sungsang Lebam Telak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar